Friday, May 12, 2023

Kunjungan Kaiser Wilhelm II ke Unit Hussar Jerman

Foto ini memperlihatkan kunjungan Kaiser Jerman Wilhelm II ke markas 1. Leib-Husaren-Regiment Nr. 1 di Danzig-Langfuhr, yang berlangsung di tahun 1912. Sang Kaisar berdiri di depan pintu, seperti biasa berpose dengan menekuk lengan kirinya yang berukuran lebih pendek dari lengan kanan. Di belakangnya berdiri Jenderal August von Mackensen, panglima pasukan kavaleri, sementara di samping kanan Kaisar adalah Kronprinz (Putra Mahkota) - yang sama-sama bernama Wilhelm - yang merupakan komandan dari 1. Leib-Husaren-Regiment Nr. 1. Dua orang gadis yang berdiri di tengah adalah, dari kiri ke kanan: putri sang Kaisar Prinzessin Viktoria Louise - yang merupakan perwira tituler Totenkopfhusaren - serta istri dari Kronprinz Wilhelm yang bernama Cecilie. Kaiserliche Armee (Angkatan bersenjata Kekaisaran Jerman) sendiri dilengkapi oleh tiga unit Hussar setingkat resimen, yaitu 1. Leib-Husaren-Regiment Nr. 1 dan Nr. 2 yang bermarkas di Danzig serta Braunschweigisches Husaren-Regiment Nr. 17 yang bermarkas di Brunswick. Simbol totenkopf (tengkorak) yang dikenakan oleh anggota-anggota unit Hussar ini kemudian ditiru oleh satuan SS (Schutzstaffel) dan sebagian resimen kavaleri Wehrmacht di era Nazi Jerman. BTW, Kaiser Wilhelm sengaja "mengusir" anak tertuanya untuk memimpin unit kavaleri di wilayah perbatasan demi untuk meredam kehebohan akibat serangkaian skandal perselingkuhan yang dilakukan oleh Kronprinz Wilhelm di Berlin!

Sumber :
https://www.alamy.com/stock-photo-emperor-wilhelm-ii-august-von-mackensen-and-crown-prince-wilhelm-visit-37003715.html?imageid=138BA081-DECC-4FA9-8A95-4E5D785DE36C&p=291611&pn=1&searchId=6bf842870fe7438ec13a82808e53889f&searchtype=0
https://de.wikipedia.org/wiki/1._Leib-Husaren-Regiment_Nr._1
https://www.oxfordreference.com/display/10.1093/oi/authority.20110803105039110;jsessionid=7B814A743AE9F894DDC21EBA45FBB5BB

Tuesday, December 11, 2018

Quote Charles de Gaulle tentang Jerman dalam Perang Dunia I

"Superioritas pasukan Jerman dibandingkan dengan negara lainnya dalam Perang Dunia Pertama terlihat sangat jelas. Bagaimana lagi kita dapat menjelaskan kenyataan bahwa begitu lamanya Jerman mampu bertahan melawan begitu banyak musuh yang bertebaran di berbagai front? Untuk 1.700.000 prajurit mereka yang mati, orang-orang Jerman - yang lebih terlatih dibandingkan dengan yang lainnya - mampu membunuh 3.200.000 musuhnya; untuk 750.000 prajurit mereka yang tertawan, mereka balas menawan 1.900.000 orang."

- Charles de Gaulle, pemimpin Prancis Merdeka dalam Perang Dunia II. Dia bukanlah seorang pengagum militer Jerman - bahkan menjadi musuh tersengit mereka dalam dua Perang Dunia - tapi secara jujur dia harus mengakui akan keefektifan dan ketangguhan mereka di medan perang.

Sumber : Buku "Rommel's Lieutenants" The Men Who Served the Desert Fox" karya Samuel W. Mitcham (halaman 5)


Saturday, November 10, 2018

Pandangan Menerawang Prajurit Austro-Hungaria

Seorang Prajurit Kepala Austro-Hungaria dalam sebuah foto yang dibuat pada tahun 1918. Dia menatap kamera dengan pandangan "thousand yard stare", yang biasa diidentikkan dengan orang yang menderita shell-shock (trauma perang atau trauma ledakan). Mata dan ekspresinya menunjukkan campuran ketakberdayaan, tanpa harapan, kelelahan, kesedihan, dan bahkan kemarahan. Apakah ada yang tahu kengerian seperti apa yang telah dia hadapi di medan perang? Adakah catatan berapa jumlah manusia yang kehilangan nyawa yang telah dia saksikan, atau yang telah dia ambil? Tentunya dia pernah atau berkali-kali terlibat dalam aksi heroisme di medan perang, karena pangkatnya secara umum dipakai oleh orang-orang yang berada di front terdepan pertempuran. Setidaknya, ditahun 1918 Angkatan Bersenjata Austro-Hungaria telah terlibat dalam aksi pertumpahan darah di Front Timur, Front Balkan, dan Front Italia. Mungkin saja dia pun pernah berpartisipasi langsung dalam Pertempuran Kedua Piave atau Pertempuran Vittorio Veneto yang berdarah-darah (terutama yang kedua, dimana pihak Austro-Hungaria menderita korban 92.000 orang). Tak ada yang mengetahui apakah dia berhasil selamat dari peperangan, atau apakah pengalaman perangnya menghantui dia di sisa hidupnya...


Sumber :
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10212543835982566&set=a.10212482164960829&type=3&theater

Prajurit Jerman Keturunan Denmark

Setelah berakhirnya Perang Schleswig-Holstein Kedua antara Prusia dan Denmark tahun 1864, wilayah kebangsawanan Schleswig dan Holstein milik Denmark dianeksasi oleh Prusia (dan nantinya oleh Kekaisaran Jerman tahun 1871). Ketika Perang Dunia I pecah tahun 1914, masih banyak warga Schleswig dan Holstein yang mempunyai nama Denmark, berbicara dalam bahasa Denmark, dan masih merasa diri sebagai orang Denmark meskipun dalam teori lahir dan dibesarkan di wilayah Kekaisaran Jerman. Sekitar 26.000 s/d 30.000 orang penduduk Schleswig-Holstein berperang di pihak Jerman, dengan mayoritas dari mereka adalah orang keturunan Denmark. Beberapa dari mereka bergabung secara sukarela - karena menganggap sudah menjadi tugasnya untuk mengabdi - meskipun sebagian besar darinya dipaksa untuk bergabung, dan merasa bahwa mereka berperang hanya untuk kepentingan negara lain. Orang-orang Denmark ini ikut berpartisipasi dalam beberapa pertempuran terhebat Front Barat seperti Verdun, Somme, dan Passchendaele. Sementara sebagian kecil diantaranya turut pula mencicipi medan tempur Front Timur. Di akhir perang, tercatat bahwa sekitar 4.000 s/d 6.000 prajurit Denmark yang terbunuh, dengan meninggalkan 5.000 anak-anak yatim. Selain itu, 6.000 lainnya "hanya"menderita luka-luka. Foto: Prajurit-prajurit Jerman keturunan Denmark sedang dalam perjalanan menggunakan kuda, bersama dengan meriam artileri Krupp 1896 serta seekor anjing yang memakai knautschmütze (crusher cap).


Sumber :
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10212521126694848&set=a.10212482164960829&type=3&theater

Thailand dalam Perang Dunia I

Thailand adalah salah satu dari hanya dua negara Asia yang tidak dijajah oleh bangsa Eropa di abad ke-19 dan awal abad ke-20 (yang lainnya adalah Jepang). Sebagai akibatnya, mereka menjadi satu-satunya negara di benua ini yang secara sukarela mengirimkan pasukannya untuk bertempur ke Eropa dalam Perang Dunia I. Pada bulan Juli 1917, Siam (nama Thailand tempo doeloe) mengeluarkan pernyataan perang terhadap Jerman. Hal ini bertujuan untuk memperlihatkan legitimasi negara mereka di mata Inggris dan Prancis, sekaligus pula untuk legitimasi Monarki di mata rakyatnya sendiri. Karena wilyahnya tidak berbatasan langsung dengan salah satu koloni Jerman di Asia, maka hal ini dianggap sebagai sebuah pertaruhan yang aman. Siam sendiri mempunyai kekuatan militer yang ketinggalan zaman. Mereka tak punya kekuatan udara atau senjata modern. Satu-satunya yang bisa dibanggakan adalah korps perwira yang dilatih secara modern, meskipun masih dalam standar sebelum perang. Pada bulan September 1917, dibentuk pasukan ekspedisi yang akan dikirimkan ke Eropa. Orang-orang yang menjadi anggotanya berasal dari unit medis, transportasi, pekerja, dan sukarelawan udara. Sebagai komandan dari pasukan berkekuatan 1.284 orang ini dipilih Mayor-Jenderal Janriddhi. Mereka tiba di Prancis pada bulan Juli 1918, meskipun baru pada bulan Agustus 1918 pasukan ekspedisi ini mencapai front terdepan di Marne sebagai Detasemen Pekerja ke-1. Pada waktu yang sama, sekitar 400 orang penerbang Siam mendapat pelatihan di belakang garis pertahanan. Pada pertengahan bulan September, SEF "mencicipi" aksi pertempuran pertama mereka dalam rangka membantu Ofensif Champagne dan Meuse-Argonne sebagai unit medis dan transport. Mereka melaksanakan tugas dengan baik, dan bahkan tidak ada korban yang jatuh dari ke-850 orang anggotanya! Setelah perang usai, SEF digunakan sebagai pasukan pendudukan di Rhineland, dan memegang wilayah kota Neustade-sur-Arrent selama masa penguasaan Sekutu. Mereka juga ikut dilibatkan dalam parade kemenangan tahun 1919. Meskipun tidak ada yang terbunuh dalam kontak senjata, tapi tercatat bahwa 19 orang anggota SEF kehilangan nyawanya selama masa eksistensinya, yang diakibatkan oleh Flu Spanyol yang mewabah setelah perang usai, ditambah dengan musim dingin pertama yang dihadapi oleh orang-orang ini. Dua diantara kasus kematian ini terjadi dalam kecelakaan sebelum kedatangan mereka di Prancis. Sebagai penghargaan atas tugas mereka, SEF dianugerahi Croix de Guerre oleh negara Prancis. Selain itu, Siam juga diperbolehkan untuk menyimpan kapal-kapal dagang Jerman yang mereka rampas pada tahun 1917, sekaligus mendapatkan revisi dari perjanjian tidak berimbang yang sebelumnya ditandatangani bersama dengan pihak Barat. 'Bekas' dari kerjasama yang manis ini masih bisa terlihat dari bendera Thailand modern yang terdiri dari tiga warna (merah, biru, putih), yang merupakan tipikal dari sebagian besar bendera negara-negara Sekutu. Foto: prajurit-prajurit SEF (Siamese Expeditionary Force) turun dari kereta yang membawa mereka, tahun 1918.


Sumber :
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10212500518699661&set=a.10212482164960829&type=3&theater